Puasa Syariat dan Hakikat dalam Perspektif Tasawuf: Kajian Bersama Nyai Maryam Fithriati, M.S.W

Nahnutv.com Yogyakarta-Dalam rangkaian kajian Ramadan 1446 H, NahnuTV menghadirkan Maryam Fithriati, M.S.W. yang mengupas makna puasa dari sudut pandang tasawuf berdasarkan kitab Sirul Asrar wa Dhikrul Anwar Fima Yahtaju Ilaihil Abrar karya Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam kajian ini, beliau membahas tentang dua dimensi puasa, yaitu puasa syariat dan puasa hakikat, yang menjadi landasan bagi kesempurnaan ibadah seorang Muslim.

Puasa Syariat: Menahan Lapar dan Dahaga

Puasa dalam syariat didefinisikan sebagai menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari. Hal ini merupakan bentuk kepatuhan terhadap perintah Allah SWT yang diwajibkan kepada seluruh umat Islam. Namun, dalam dimensi tasawuf, puasa bukan hanya sebatas aktivitas fisik, tetapi juga memiliki aspek spiritual yang lebih mendalam.

Puasa Hakikat: Menjaga Hati dan Pikiran

Syekh Abdul Qadir Jailani menjelaskan bahwa puasa sejati bukan hanya menahan diri dari hal-hal fisik, tetapi juga menjaga hati, pikiran, dan seluruh pancaindra dari hal yang buruk. Maryam Fithriati menegaskan bahwa seseorang yang menjalankan puasa hakikat harus menghindari kesombongan, riya, ujub, serta perbuatan yang menyakiti orang lain. Bahkan, meskipun seseorang telah berbuka, ia tetap dianggap berpuasa jika hatinya bersih dari keburukan dan hawa nafsu duniawi.

“Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan dahaga,” ujar Maryam, mengutip hadis Rasulullah SAW. Artinya, seseorang bisa saja menahan lapar, tetapi jika masih melakukan keburukan seperti menggunjing atau menyakiti sesama, maka puasanya kehilangan makna spiritualnya.

Makna Kebahagiaan dalam Puasa

Dalam hadis Qudsi, disebutkan bahwa orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan: saat berbuka dan saat bertemu dengan Allah SWT. Secara lahiriah, kebahagiaan pertama dimaknai sebagai kegembiraan setelah menahan lapar seharian, sedangkan kebahagiaan kedua adalah ketika melihat hilal pertanda berakhirnya Ramadan. Namun, dalam pandangan tasawuf, kebahagiaan berbuka berarti masuk ke dalam surga dan menikmati kenikmatannya, sementara kebahagiaan melihat Allah adalah memperoleh hakikat ketuhanan dengan mata hati yang bersih.

Menjadikan Puasa Sebagai Jalan Hidup

Maryam Fithriati menekankan bahwa puasa hakikat seharusnya dijalankan seumur hidup, bukan hanya dalam bulan Ramadan. Jika seseorang masih mencintai dunia melebihi cintanya kepada Allah, maka puasa hakikatnya batal. Oleh karena itu, setiap Muslim perlu terus memperbaiki niat dan menjaga keseimbangan antara ibadah mahdah (ritual) dan ibadah sosial.

“Kita harus menjaga lingkungan, bersikap baik terhadap sesama, serta menghindari perbuatan yang merusak ciptaan Allah. Itu juga bagian dari menjaga puasa nurani kita,” jelasnya. (baba)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *