NU dan 3 Srikandi di Pilgub Jatim

Mungkin sebagian orang mempertanyakan hubungan NU dengan Pilgub Jatim 2024, begitu membaca judul di atas. Mungkin juga sebagian lainnya bisa membaca arah tulisan ini secara garis besarnya, karena NU sebagai teks punya korelasi dengan siapa saja dan apa saja serta selalu relevan dengan multi konteks.

Dalam konteks Jawa Timur, NU memiliki banyak konteks dan historical. Ormas keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 ini lahir di Jawa Timur. Dalam konteks populasi warga NU, Jawa Timur menempati ranking pertama. Demikian pula dalam konteks Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang dirintis Gus Dur ini menjadi partai politik terbesar di Jawa Timur dan ia terlahir dari rahim NU.

Pada konteks gender, NU dikesankan kurang pro gerakan kesetaraan gender, meskipun sejatinya NU sangat pro kesetaraan gender secara proporsional. Sementara secara faktual, Jawa Timur dipimpin oleh seorang wanita, bahkan sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa. Menjadi hal yang sangat menarik hari ini ada tiga perempuan berbasis NU yang berlaga dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jatim 2024.

Hal di atas tentunya akan sangat menarik dilihat dari berbagai perspektif. Karena itu NU sebagai tema utama akan sangat relevan diperbincangkan.

NU dan Isu Gender

Dalam beberapa diskursus gender, NU dikesankan sebagai ormas keagamaan konservatif yang kurang ramah terhadap isu gender. Karena itu dalam konteks kontestasi elektoral, NU bisa dimaknai sebagai semacam barrier bagi perempuan dalam ruang publik, terkhusus kontestasi elektoral Pilgub Jatim.

Pada gelaran Pilgub Jatim 2024, terjadi fenomena “the power of emak emak”, karena muncul tiga “srikandi” yang menjadi kandidat Gubernur Jatim. Masing-masing Khofifah Indar Parawansa, didukung Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Nasdem, PAN, PKS, PPP dan sejumlah parpol lainnya, Luluk Nur Hamidah diusung PKB, serta Tri Rismaharini diusung PDI Perjuangan dan Partai ​​​​​​​Hanura.

Mengapa mereka bisa menguasai kontestasi Pilgub di bumi Nahdliyin? Bagaimana respons Nahdliyin terhadap pertarungan tiga srikandi tersebut?

Terjadinya “the power of emak emak” setidaknya mengafirmasi, bahwa NU dalam konteks gender sudah clear secara politis, sosiologis dan teologis, sebagaimana dijelaskan dalam disertasi Jamal Ma’mur, mahasiswa doktoral UIN Walisongo Semarang. NU, selain memiliki badan otonom untuk perempuan, dalam praktiknya juga melibatkan perempuan dalam berbagi forum resmi jamiyah, seperti, Munas, Konbes, hingga Muktamar. Bahkan dalam struktur kepengurusan level PBNU, terdapat sejumlah tokoh perempuan.

Secara anatomis –ideologis, ketiga srikandi yang berlaga pada Pilgub Jatim 2024 adalah berdarah NU. Bahkan, satu di antaranya merupakan Ketua Umum Muslimat NU dan aktivis NU tulen, karena “berkarir” sejak anak-anak sampai sekarang, yaitu Khofifah Indar Parawansa. Sosok Tri Rismaharini pun demikian. Menurut salah satu sumber, Risma merupakan cicit Mbah Jayadi, seorang pendiri NU Jawa Timur. Risma juga sepupu Prof Muhammad Nuh, pengurus PBNU yang juga pernah menjabat beberapa Menteri Republik Indonesia. Demikian pula Luluk Nur Hamidah, anggota DPR RI dari Fraksi PKB, yang tentu warga NU.

Dalam politik kekuasaan, Khofifah Indar Parawansa dan Tri Rismaharini sama-sama pernah menjadi pemimpin pemerintahan pada level Gubernur Jatim dan Walikota Surabaya. Keduanya juga pernah menjadi Menteri Republik Indonesia.

Partai politik telah memberikan mandat kepada mereka yang sama sama warga NU di bumi Nahdliyin. Momen ini akan sangat seru dan menarik. Lalu, bagaimana respons Nahdliyin yang merupakan mayoritas di Jawa Timur? Siapa yang akan tampil sebagai kampiun?

NU sebagai Pemenang

Tampilnya tiga srikandi dalam Pilgub Jatim dipastikan tidak muncul ujug-ujug, melainkan melalui banyak pertimbangan. Ada pertimbangan obyektif dan subyektif yang diramu menjadi sebuah strategi.

Ceruk suara yang diperebutkan adalah ceruk suara mayoritas; NU. Karena itu, untuk memenangi perebutan suara tersebut idealnya para kader NU yang berebut adu sakti dengan ajian parpol pengusung.

Semua kandidat memiliki peluang menjadi pemenang. Partai terbesar bisa menang, tapi juga bisa kalah. Demikian pula kandidat dengan elektabilitas tinggi, bisa menang juga bisa kalah. Sebaliknya partai kecil bisa mengalahkan partai besar. Bahkan, parpol yang secara biologis anak kandung NU, memiliki probabilitas dikalahkan atau mengalahkan.

Jika melihat ke belakang, ada fakta yang menarik dan menggelitik. Besar di kandang tapi kalah dalam “pertempuran”.

Pilgub Jatim 2008, diikuti lima Paslon. Pertama, pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf, yang dimotori Partai Demokrat. Kedua, Khofifah Indar Parawansa – Mujiono, yang dimotori PPP. Ketiga, Soetjipto – Ridwan Hisyam, yang dimotori PDI Perjuangan. Keempat, Soenarjo – Ali Maschan Moesa, yang dimotori Partai Golkar. Kelima, Achmady – Soehartono, yang dimotori PKB.

Pada kontestasi tersebut, PKB sebagai partai besar sekaligus “tuan rumah” kalah. Khofifah Indar Parawansa sebagai pemegang nama besar tokoh NU, kalah. Tapi, NU tetap menang, karena Soekarwo berpasangan dengan Saifullah Yusuf, yang juga tokoh besar NU.

Pilgub Jatim 2013 juga demikian. Gelaran ini diikuti empat pasangan calon atau paslon. Pertama, Soekarwo – Saifullah Yusuf, sebagai petahana, yang diusung Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PKS, PPP, Partai Hanura, Partai Gerindra, PKNU, PDS, PBR dan 22 parpol non parlemen. Kedua, Bambang Dwi Hartono – Said Abdullah, yang dimotori PDI Perjuangan. Ketiga, Khofifah Indar Parawansa – Herman Soerjadi Sumawiredjo, yang dimotori PKB dan lima parpol non parlemen. Keempat, Eggy Sudjana – Muhammad Sihat dari jalur independen.

PKB sebagai parpol besar sekaligus sebagai tuan rumah kalah. Demikian pula Khofifah sebagai tokoh besar NU, mengalami kekalahan. Yang menang NU, karena Soekarwo yang diusung Demokrat berpasangan dengan Saifullah Yusuf.

Selanjutnya, pada Pilgub Jatim 2018, diikuti dua pasangan calon. Masing masing Khofifah Indar Parawansa – Emil Elistianto Dardak, yang diusung Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PAN. Serta, Saifullah Yusuf – Puti Guntur Soekarno, yang diusung PDI Perjuangan, PKB, Partai Gerindra, dan PKS.

Pada perhelatan Pilgub kali ini pun, PKB sebagai partai besar dan “tuan rumah” kalah. Yang menang lagi-lagi NU, karena Khofifah sebagai salah satu tokoh NU tampil menjadi pemenang.

Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh NU sejatinya manifestasi dari sikap kembali ke khittah 1926, bahwa NU berada di mana-mana; di semua partai politik, karena afiliasi politik warga diserahkan kepada warga secara individu. NU terlalu besar untuk satu partai politik dan secara konstitusi NU tidak ada partai yang berhak mengklaim sebagai satu-satunya partai politik NU atau warga NU.

Siapapun yang akan memenangi Pilgub Jatim dan apapun partainya, sejatinya yang menang adalah NU. Dan, Pilgub Jatim 2024 secara riil mengadili, bahwa NU selesai terhadap masalah gender dan dapat dipastikan akan meraih kemenangan.

*) Mufid Rahmat, aktivis NU dan penulis buku “Semua Akan NU pada Waktunya”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *