Pada 1925, atau setahun sebelum Nahdlatul Ulama’ (NU) lahir (1926), seorang bayi laki- laki bernama Nawawi lahir di desa Tulusrejo Grabag Kutoarjo Purworejo Jawa Tengah. Ayahnya, KH Abdul Aziz adalah seorang kiai dan petani. Bayi kecil bernama Nawawi itu akhirnya menjadi seorang kiai ahli al-Quran yang mendirikan pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi. Nawawi itu juga pernah menjadi hakim Pengadilan Agama Bantul dan menjadi Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1984-1991.
Sejak usia belia, Nawawi sangat rajin dalam urusan ilmu. Sejak umur 7 tahun, Nawawi belajar kepada ayahnya, KH Abdul Aziz, terkait al-Quran, fiqh dan ushuludin, di samping pada pagi hari Nawawi belajar di Sekolah Dasar (SD). Usia 13 tahun, Nawawi nyantri di Pesantren Lirap Kebumen selama 4 tahun. Tidak puas, Nawawi juga melanjutkan belajar di Pesantren Tugung Banyuwangi di bawah asuhan KH Abbas. Tidak puas juga dari Jawa Timur, Nawawi belajar menghafapkan al-Quran di Pesantren Krapyak Yogya di bawah asuhan KH. R. Abdul Qodir Munawwir.
15 bulan, Nawawi menyelesaikan hafalan al-Quran, padahal di tengah-tengah belajar itu, Nawawi muda harus berada dalam suasana mencekam di tengah penjajahan. Semangat, ketekunan dan konsistensi yang ditunjukkan Nawawi muda membuatnya dinikahkan dengan adik sang guru, yakni Walidah binti KH Munawwir. Naluri ilmiahnya tidak mau berhenti, sehingga Nawawi muda yang sudah disebut Kiai, akhirnya melanjutkan pengembaraan menuju Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, belajar riwayat bacaan tujuh (qiro’ah sab’ah) kepada KH Arwani Amin, yang juga murid KH Munawwir. Tentu saja, ini dilakukan setelah mendapatkan restu dari keluarga besar KH Munawwir, khususnya sang guru, KH. R. Abdul Qodir Munawwir.
Selesai dari Kudus, Kiai Nawawi pulang ke Kutoarjo, membantu orang tua, membuka pengajian al-Quran dan sempat mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI). Tetapi sang guru dan juga kakak iparnya, KH.R. Abdul Qodir, meminta Kiai Nawawi untuk membantu mengajar al-Quran di Pesantren Krapyak Yogya. Setelah dua tahun di Krapyak, Kiai Nawawi akhirnya pada tahun 1964 mendirikan pesantren di Ngrukem Bantul dengan nama “An-Nur” yang berarti cahaya. Mulai saat itulah, Kiai Nawawi mulai merintis berbagai macam pengajian, baik dengan santri maupur dengan masyarakat.
Fokus dalam Pendidikan
Kiai Nawawi mempunyai semangat dan komitmen sangat besar dalam dunia pendidikan. Berangkat dari mendirikan pesantren, Kiai Nawawi akhirnya mendirikan lembaga pendidikan, mulai Madrasah Diniyah, Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), sampai perguruan tinggi. Semangat inilah yang terus memancar dan mengalir dalam diri santri dan keluarga besar Pesantren An-Nur Ngrukem Bantul.
Bagi Kiai Nawawi, santri harus terus berkembang dan menjawab persoalan jaman. Dari sini, wajar kemudian pada tahun 2002, Kiai Nawawi mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Al- Quran (STIQ) An-Nur. Dengan al-Quran, Kiai Nawawi mencetak para kader santri yang bisa terus maju membangun peradaban Indonesia tercinta ini.
Menurut KH Yasin, putra Kiai Nawawi, sang ayah adalah sosok kiai yang disiplin, sangat mencintai santri, sosok ahli al-Qur’an yang mumpuni. Di dalam mendidik santri, Kiai Nawawi memiliki metode tersendiri. Metode itu belum pernah dilaksanakan pondok- pondok tahfidzul Qur’an lainnya.
“Pertama, menjaga deresan beliau dengan para santri secara sinkron. Kalau dibuat deresan wajib itu setiap setengah sembilan itu diadakan dereson bersama. Deresan itu dibaca dengan suara lantang. Minimal tiga juz perhari. Mbah Nawawi memang sering menganjurkan para santri untuk melantangkan suara saat membaca al-Qur’an,” tegasnya.
“Kedua, sistem pembelajaran bagi pemula itu ada sistem bimbingan. Jadi santri yang mau menghapalkan al-Qur’an setelah dilakukan seleksi, kemudian melalui bimbingan setiap ba’da magrib. Beliau langsung membimbing para santri dengan membacakan dua sampai tiga ayat secara tartil. Selanjutnya para santri mengulang bacaan itu minimal lima kali secara bersamaan. Setelah itu baru ditambah maqra (bacaan) berikutnya. Biasanya satu sampai dua ayat per-moqra. Setelah magra pertama selesai dilanjutkan maqra kedua ayat berikutnya. Setelah selesai, baru digabung antara maqra pertama dengan maqra kedua. Ketiga, adalah lagu dalam deresan khas an-Nur. Lagu itu memang yang mencontohkan langsung Mbah Nawawi sendiri,” lanjut Gus Yasin.
Gus Yasin melanjutkan bahwa dalam memperjuangkan pesantren, Kiai Nawawi itu sosok yang tidak ambisius. Sifat tidak menonjolkan diri dan merendah menjadikan kelebihan- kelebihan yang dimiliki beliau cenderung ditutupi. Itu yang diajarkan kepada keluarga.
“Menurut Mbah Nawawi, hapal al-Qur’an itu tidak mesti 30 juz. Sesuai dengan kekuatan hapalan dan anugerah Allah masing-masing. Kalau kekuatan hapalannya cuman 10 juz, maka itulah yang harus dirawat betul sehingga betul-betul lancar. Karena al-Qur’an itu akan memberikan berkah kepada yang mewiridkannya bukan karena jumlah juz-nya,” Gus Yasin kembali menegaskan pesan sang ayah tercinta.
Tegas dan Tawadlu’
Sementara itu, KH Dr Hilmy Muhammad, Pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta menjelaskan bahwa Kiai Nawawi adalah antara sedikit kiai yang mengajarkan program tahfidz al-Qur’an riwayat bacaan Imam Tujuh (al-qira at as-sab). Beliau yg menulis beberapa buku, adalah juga penulis (katib) Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa Rembang yang diterbitkan oleh Menara Kudus.
Senada dengan itu, KH Afif Muhammad, MA., Ketua Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, menuturkan bahwa Kiai Nawawi adalah kiai sepuh yang wafat dengan tersenyum dan mewangi saat dikebumikan. Ribuan pentakziyah sungguh menunjukkan rasa kehilangan sosok kyai langka. Kiai Nawai itu tegas namun tawadlu: jelas ketika membaca dan mengajar Qur’an dan kerso datang mengisi pengajian di masyarakat.
“Kiai Nawawi juga seorang penulis buku, tapi bahkan sebelumnya sudah terampil menulis dalam arti sebenarnya, karena beliau khattat/kaligrafer; suatu keahlian yang saat ini langka pada diri seorang kiai,” tegas Gus Afif.