RMI PWNU DIY Gelar Diskusi DAMPARAN ke-7 Bahas Pesantren Unggul, Bersih dan Ramah Anak

Nahnutv.com Gunungkidul, 29/9/2024– Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU DIY kembali mengadakan diskusi DAMPARAN RMI Forum Kiai dan Bu Nyai se-DIY yang ke-7 dengan tema “Pesantren Unggul, Bersih, dan Ramah Anak.” Diskusi ini dilaksanakan pada 29 September 2024 di Gedung International Islamic Boarding School Pondok Pesantren Darul Qur’an, Gunungkidul, Yogyakarta.

Acara tersebut dihadiri oleh jajaran pengurus RMI PWNU DIY, para Kiai dan Bu Nyai se-DIY, serta sejumlah tokoh penting, termasuk Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama DIY, Dr. H. Ahmad Bahiej, Rais Syuriah PWNU DIY, Drs. KH. Mas’ud Masduki, Ketua PWNU DIY, Dr. H. Ahmad Zuhdi Muhdlor, dan KH. Abdul Ghofarrazin M. Ed., Ketua Majelis Masyayikh yang turut menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.

DAMPARAN merupakan forum komunikasi bagi Kiai dan Bu Nyai pimpinan pesantren NU se-DIY, yang berfungsi sebagai ruang musyawarah untuk merespons berbagai persoalan yang dihadapi pesantren. Forum ini juga digunakan untuk merumuskan serta mengimplementasikan kebijakan di level strategis dan operasional melalui forum komunikasi lurah pondok se-DIY.

Acara dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh santri Pondok Pesantren Darul Qur’an, disusul dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Ya Lal Wathon. Pengasuh Pondok Pesantren Darul Qur’an, Drs. KH. Kharis Masduki, dalam sambutannya, menyoroti perubahan karakter santri dari masa ke masa. Ia menekankan bahwa pendirian boarding school merupakan salah satu cara agar pesantren mampu menjawab tantangan zaman. Ponpes Darul Qur’an juga telah mengadopsi metode pengelolaan sampah yang mampu memproses 500 kg sampah per hari, sebagai bentuk inovasi lingkungan. “Pesantren harus bisa beradaptasi dengan perubahan sosial dan politik agar tetap eksis di masa depan,” ujar KH. Kharis.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya manajemen yang baik di pesantren, terutama dalam pengelolaan sumber daya manusia (SDM) dan lembaga keuangan. Menurutnya, banyak pesantren yang dulunya maju kini hanya tinggal nama akibat manajemen yang tidak efektif. “Manajemen SDM dan keuangan sangat diperlukan agar kemandirian pesantren tetap terjaga,” tegasnya.

Ketua PWNU DIY, Dr. H. Ahmad Zuhdi Muhdlor, dalam sambutannya juga menekankan pentingnya menjaga tradisi pesantren meski menghadapi perkembangan zaman. Ia menegaskan bahwa modernisasi pesantren harus diiringi dengan penguatan ideologi Nahdlatul Ulama (NU) agar pesantren tetap relevan dan mampu menghadapi tantangan masa depan.

baca juga :Kang Muiz Jadi Ketua Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda (GP) Ansor DIY periode 2024 – 2028

Kepala Kantor Wilayah Kemenag DIY, Dr. H. Ahmad Bahiej, menyampaikan apresiasi terhadap acara ini. Ia juga menyoroti pentingnya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di lingkungan pesantren. Dr. Bahiej menyarankan pembentukan gugus tugas di setiap pesantren untuk mencegah kekerasan seksual dan menegaskan bahwa pihaknya siap bersinergi dengan pesantren dalam upaya tersebut.

Acara kemudian dilanjutkan dengan serah terima bagi hasil Nu-Go oleh Ketua RMI PWNU DIY KH. Nilzam Yahya, M. Ag kepada Ketua PWNU DIY

Dilanjukan Sesi diskusi yang dipimpin oleh H. Muhammad Irfan Chalimy, S.Pd.I dengan narasumber KH. Abdul Ghofarrazin M. Ed.  Berikut adalah rangkuman poin-poin utama yang disampaikan dalam diskusi tersebut:

  1. Pengakuan Pesantren oleh Negara
    UU No. 18 Tahun 2019 memberikan pengakuan konstitusional pertama bagi pesantren di Indonesia, menandai pentingnya peran pesantren dalam sistem pendidikan dan kehidupan keagamaan nasional.
  2. Dua Sisi UU Pesantren
    UU Pesantren bisa menjadi “pisau bermata dua,” di mana dampak negatifnya perlu diantisipasi, terutama bagi pesantren NU. UU ini bisa menghadirkan tantangan jika tidak dikelola dengan baik.
  3. Manfaat UU Pesantren Belum Maksimal untuk NU
    Ada indikasi bahwa manfaat terbesar dari UU ini justru tidak dinikmati oleh pondok pesantren yang berafiliasi dengan NU. Dari peningkatan jumlah pesantren pasca-berlakunya UU Pesantren, hanya kurang dari 25% yang berafiliasi dengan NU.
  4. Pertumbuhan Pesantren
    Sebelum UU Pesantren disahkan, terdapat sekitar 30 ribu pesantren di Indonesia. Namun, setelah UU diberlakukan, jumlahnya meningkat menjadi sekitar 42 ribu, dengan mayoritas pesantren baru tidak berafiliasi ke NU.
  5. Fungsi Pesantren dalam UU
    UU Pesantren menetapkan tiga fungsi utama pesantren: [1] Fungsi Pendidikan, [2] Fungsi Dakwah, dan [3] Fungsi Pemberdayaan. Dari ketiga fungsi ini, hanya fungsi pendidikan yang sudah berjalan dengan baik dan memiliki regulasi teknis, sementara fungsi lainnya masih perlu didorong lebih kuat.
  6. Kebutuhan Legal dan Administrasi Pesantren
    Pesantren NU perlu lebih memperhatikan legal formal dan administrasi agar selaras dengan kebijakan pemerintah. Edukasi dan pendampingan di bidang ini sangat diperlukan.
  7. Penjaminan Mutu oleh Majelis Masyayikh
    Majelis Masyayikh terus bekerja untuk menyiapkan sistem penjaminan mutu pesantren dan sistem ini sudah hampir siap untuk diluncurkan.
  8. Tantangan “Sel Baru” dari Kampanye “Ayo Mondok”
    Pesantren menghadapi tantangan baru dari para santri dan wali santri yang datang dengan ekspektasi dan pendekatan yang berbeda terhadap dunia pesantren. Mereka lebih mengutamakan fasilitas pesantren daripada profil pengasuhnya, yang menyebabkan pesantren harus menghadapi tuntutan baru.
  9. Tantangan Mendidik Wali Santri
    Selain mendidik santri, pesantren kini juga harus mendidik wali santri yang belum pernah mengenal dunia pesantren, yang menambah beban bagi pengasuh pesantren.
  10. Keunggulan Pesantren Sesuai Kekhasan
    Setiap pesantren memiliki kekhasan tersendiri, sehingga keunggulan masing-masing pesantren juga unik. Hal ini harus terus dikuatkan dalam peningkatan mutu pendidikan di pesantren.
  11. Isu Bullying di Pesantren
    Kasus bullying di pesantren perlu didefinisikan secara baik agar tidak terjadi salah paham antara gojlokan, takziran (sanksi disiplin), dan bullying. Terutama bagi generasi Z yang cenderung memiliki mental yang lebih lemah, penanganan kasus-kasus ini perlu lebih hati-hati.
  12. Pengelolaan Kasus Bullying
    Semua lembaga memiliki potensi kasus bullying. Namun, yang terpenting adalah bagaimana cara pesantren menyikapi dan mengelola kasus tersebut dengan bijak.
  13. Kekhasan Kepengasuhan Pesantren
    Pesantren memiliki kekhasan dalam sistem kepengasuhan, yang diteladankan oleh kiai dan diikuti oleh ustadz-ustadzah serta pengurus pesantren hingga ke santri.
  14. Pendaftaran Pesantren Formal ke Jalur Non-Formal
    Gus Rozin mendorong pesantren yang memiliki sekolah formal untuk juga mendaftarkan pesantren di jalur non-formal agar santri dapat memperoleh ijazah atau syahadah dari proses mengaji di pesantren.
  15. Peran Gus Rozin dalam Inisiasi UU Pesantren
    Sejak menjabat sebagai Ketua RMI PBNU, Gus Rozin sering berdiskusi dan meminta masukan dari Yogyakarta terkait inisiasi UU Pesantren. Kali ini, ia juga hadir untuk memberikan laporan mengenai progres pelaksanaan UU Pesantren.
  16. Ruh UU Pesantren: Afirmasi, Fasilitasi, dan Rekognisi
    UU Pesantren bertujuan memberikan afirmasi, fasilitasi, dan rekognisi kepada pesantren. Namun, dalam implementasi di beberapa daerah, banyak Perda Pesantren hanya menekankan aspek afirmasi dan fasilitasi tanpa memperhatikan aspek rekognisi.

KH. Abdul Ghofarrazin M. Ed. (Gus Rozin) memaparkan beberapa poin penting terkait UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, termasuk tantangan yang dihadapi pesantren NU dalam mengoptimalkan manfaat dari undang-undang tersebut. Gus Rozin mengungkapkan bahwa UU Pesantren adalah pengakuan resmi negara terhadap pesantren, namun ada tantangan bahwa sebagian besar pondok pesantren baru yang berdiri setelah UU tersebut bukanlah pesantren NU.

Ia juga membahas tiga fungsi utama pesantren menurut UU Pesantren, yaitu fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan. Meski fungsi pendidikan sudah berjalan dengan baik, dua fungsi lainnya masih memerlukan dorongan lebih lanjut.

Gus Rozin menambahkan bahwa pesantren harus siap menghadapi tantangan baru, termasuk hadirnya kelompok wali santri yang belum pernah berinteraksi dengan pesantren. Mereka datang dengan ekspektasi yang berbeda, lebih menekankan pada fasilitas fisik daripada aspek spiritual, dan ini membutuhkan pendekatan yang tepat dari pesantren.

Diskusi ini juga menyoroti isu bullying di pesantren, serta perlunya membedakan antara gojlokan (guyonan), takziran (sanksi disiplin), dan bullying. Gus Rozin menegaskan bahwa setiap lembaga berpotensi menghadapi kasus bullying, namun yang paling penting adalah bagaimana mengelola dan menyikapinya dengan bijak.

Terakhir, Gus Rozin menyarankan agar pesantren yang memiliki sekolah formal juga mendaftarkan jalur non-formal agar santri mendapatkan ijazah dari proses pengajian, selain ijazah sekolah formal. Syahadah (ijazah pengajian) ini diupayakan untuk diakui oleh negara, sehingga santri dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *