Jalaluddin Rumi, Tokoh Sufi yang Memanusiakan Manusia

Tak hilang dari catatan sejarah, Islam mencapai titik yang tinggi dalam masa peradabannya. Faktor puncak kejayaan Islam ditandai dengan keberhasilan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan di bidang keagamaan maupun eksakta. Hal ini tak lain karena usaha para cendekiawan muslim atas kegigihannya mencari ilmu.

Sejarah mengungkapkan ilmuwan pada masa itu merupakan ilmuwan generasi terbaik yang dimiliki bangsa Islam. Hal tersebut karena pemikirannya yang luas, sehingga mereka berhasil memberikan kontribusi besar terhadap tatanan dunia baru melalui berbagai penemuan, inovasi, dan karya-karyanya. Sehingga sampai saat ini masih menjadi rujukan para sarjana dan akademisi di dunia.

Salah satu cendekiawan muslim yang ikut andil dalam mencapai garis keemasan bangsa Islam ialah Maulana Jalaluddin Rumi. Ia terkenal sebagai seorang sufi besar dan penyair indah dari Persia. Bahkan ajaran yang dikemukakan olehnya masih relevan sampai saat ini. Di antara nilai yang diajarkan oleh Jalaluddin Rumi yakni tentang kemanusiaan melalui konsep cinta universal.

Biografi Jalaluddin Rumi

Nama lengkap Jalaluddin Rumi ialah Jalaluddin Rumi Muhammad bin Bahauddin Walad bin Hasin bin Al Khattabi al Bakri. Ia lahir di daerah Persia, tepatnya di Balkh, pada 06 Rabiul Awwal 604 H atau 30 September 1207 M.

Ia berasal dari keluarga yang terhormat dan religius. Sang ayah yang bernama Bahauddin Walad merupakan seorang tokoh ulama yang alim dan guru besar di negerinya pada masa itu, karena terkenal sebagai seorang cendikiawan dan ahli teologi. Ayahnya pun diberi gelar dengan Sultanul Ulama’.

Dari nasab sang ayah, Jalaluddin Rumi bersambung dengan Sayyidina Abu Bakar as Shiddiq. Sedangkan dari garis sang ibu bernama Mu’mina Khatun, Jalaluddin Rumi merupakan keturunan menantu Nabi Muhammad SAW, yakni Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang merupakan khalifah keempat.

Kehidupan masa kecil Jalaluddin Rumi dihabiskan untuk mencari ilmu. Tak ayal sejak umur belia Rumi telah menguasai berbagai bidang keilmuan, baik tata bahasa Arab, ilmu persajakan, Al-Qur’an, ilmu hukum, teologi, filsafat, matematika, hingga astronomi. Hal ini didorong oleh sang ayah sebagai orang pertama yang memberikan kontribusi besar terhadap intelektualitas Jalaluddin Rumi.

Sepeninggal ayahnya, Rumi berguru kepada Burhanuddin at Tirmidzi yang merupakan salah seorang murid terpintar ayahnya di Balkh. Dari Burhanuddin at Tirmidzi, Rumi banyak belajar tentang berbagai hal mengenai spiritual dan rahasia dari kekuatasan spiritual tersebut.

Selain menimba ilmu kepada Burhanuddin at Tirmidzi, Rumi juga beguru kepada Syamsuddin at Tabriz. Syamsuddin sendiri merupakan seorang ulama sufi dari Tabriz, sebuah daerah di wilayah Iran. Pertemuan keduanya dikisahkan ketika Rumi sedang mengajar lalu datang seorang laki laki yang tak lain adalah Syamsuddin dengan membawa pertanyaan. Sejak saat itu Rumi mulai akrab dengan Syamsuddin, kemudian menjadikannya sebagai guru. Dari Syamsuddin at Tabriz, Rumi mulai bisa merasakan hakikat cinta dan bisa menulis rangkaian sajak-sajak sebagaimana yang ditulis oleh penyair terdahulu.

Perjalanan mencari ilmu ini yang membentuk pandangan Rumi terhadap keutamaan cinta dan persatuan dengan Tuhan sebagai inti dari ajaran spiritualnya. Sehingga banyak karya-karya Rumi yang mendunia, di antaranya ialah Masnawi, Diwan Syamsi Tabris, Ruba’iyyat, dan Fihi Ma Fihi.

Sufi yang Memanusiakan Manusia

Dalam pandangan filosofinya, Jalaluddin Rumi mengajak manusia ke dalam kehidupan cinta, yaitu kehidupan yang menempatkan manusia pada hakikatnya sebagai orang pecinta dan untuk yang dicinta. Sedangkan mengenai pandangannya tentang manusia, menurut Rumi, manusia adalah inti dari alam dan himpunan sifat alam.

Dalam salah satu puisinya, Rumi mengatakan:

“Segala kesempurnaan dan keindahan yang terlihat dalam diri manusia merupakan pantulan sifat-sifat Allah sebagaimana membiasnya sinar rembulan yang benderang pada sebuah sungai yang bening. Makhluk (manusia) itu bagaikan air bening yang di dalamnya terlihat sifat-sifat Allah, di dalamnya ilmu, keadilan, dan kelembutan Allah terpantul dengan jelas, sebagaimana memantulnya cahaya bintang kejora pada air yang mengalir.”

Rumi berpandangan bahwa dalam diri manusia harus ditumbuhi dan dimekarkan oleh cinta, karena cinta dapat menjadi alat penggerak segala makhluk menuju cinta abadi. Cinta yang demikian akan meningkatkan kepada cinta tanpa batas dan bertemu cinta yang hakiki, yakni cinta kepada pemilik cinta. Jika setiap individu melihat orang lain sebagai manifestasi dari bentuk cinta kepada Tuhannya, maka konflik dan kebencian tidak akan memiliki tempat.

Sebagaimana masyhurnya, pandangan Rumi mengenai cinta adalah komponen penting dalam mengetahui hikakat pemahaman Rumi. Cinta yang diajarkan Jalaluddin Rumi adalah hakikat cinta yang telah lebih dulu ia rasakan, maka setiap individu manusia harus menyadari dan mengenali fitrah dirinya sebagai manusia. Bahkan ia menganjurkan kepada setiap manusia agar mereka menyadari hakikat dirinya dan melaksanakan apa yang menjadi fitrahnya.

Selaras dari hikayat hidupnya, Rumi pun selalu mengajarkan ilmu dan pemahamannya kepada sesamanya. Bagi Rumi setiap manusia tanpa terkecuali berhak atas pemahaman cinta yang sebenarnya. Ia pun mengajarkan pandangan filosofinya tidak hanya berpaku pada murid-murid di sekolah, tetapi ia juga mengajarkan kepada khalayak umum.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, ekstase cinta merupakan hal penting untuk mencapai kedekatan yang sesungguhnya. Cinta mampu mengantarkan manusia kepada hati untuk selalu hidup. Bagi Rumi, hati merupakan satu komponen yang penting karena dengan hati yang baik setiap perbuatan yang dilakukan akan mengantarkan perbuatan yang baik pula.

Dengan demikian, pemahaman Rumi akan cinta Ilahi membuatnya memiliki sifat toleransi dan tidak mengkotak-kotakkan manusia atas manusia yang lain. Ia sendiri selalu menjalin hubungan baik sesama manusia dari berbagai latar belakang baik suku, bangsa, maupun agama. Dengan menerapkan ajaran Rumi ke dalam kehidupan sehari hari, kita dapat menciptakan dunia yang lebih humanis, adil, dan penuh kasih sayang.

*) Novia Ulfa Isnaini, mahasiswa UIN KH Ahmad Shiddiq Jember.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *