Nahnutv.com – Melihat fenomena yang terjadi saat ini, tak jarang membuat kita merenung tentang sejarah umat Islam di masa lalu, khususnya pada masa sahabat. Konflik dan perbedaan pandangan di antara sahabat Rasulullah SAW, seperti antara pendukung Sayyidina Ali, Mu’awiyyah, dan Khawarij, merupakan salah satu fase krusial dalam sejarah Islam yang sarat dengan pelajaran berharga.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, umat Islam menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah perpecahan politik dan ideologis. Salah satu konflik terbesar adalah antara kelompok pendukung Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Kedua tokoh ini memiliki visi yang berbeda tentang pemerintahan dan kepemimpinan umat Islam.
Pendukung Sayyidina Ali dikenal sebagai kelompok yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran. Mereka melihat Ali sebagai pewaris sah ajaran Nabi Muhammad dan pemimpin yang layak untuk diikuti karena integritas dan kedekatannya dengan Rasulullah. Di sisi lain, pendukung Mu’awiyah menekankan pentingnya stabilitas politik dan kekuasaan, melihat Mu’awiyah sebagai sosok pemimpin yang pragmatis dan memiliki visi untuk menjaga kesatuan umat Islam dengan pendekatan yang lebih diplomatis.
Dalam pertempuran Siffin, dua kelompok besar umat Islam ini bertikai, dan sejarah mencatat dampak besar dari perpecahan ini terhadap perkembangan politik Islam selanjutnya. Di tengah konflik ini, muncul kelompok ketiga, yaitu Khawarij. Kelompok ini memilih jalannya sendiri, dengan keyakinan bahwa mereka lebih benar dalam menegakkan hukum Allah. Mereka menuntut pemurnian ajaran Islam dan memandang bahwa baik Ali maupun Mu’awiyah tidak layak menjadi pemimpin.
Sejarah yang Terulang
Jika kita melihat dinamika yang terjadi di Nahdlatul Ulama (NU) saat ini, bukan tidak mungkin sejarah akan berulang. NU, dengan basis massa yang sangat besar dan beragam, bisa saja mengalami pembelahan internal yang mengarah pada terbentuknya kelompok-kelompok dengan karakter yang mirip dengan masa lalu.
Pertama, munculnya kelompok spiritualis. Dalam sejarah NU, selalu ada tokoh-tokoh yang lebih menekankan aspek spiritualitas dan tasawuf. Mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran spiritual, berkonsentrasi pada pembinaan akhlak dan pengembangan ruhaniyah, mirip dengan pendukung Sayyidina Ali yang lebih berorientasi pada nilai-nilai keadilan dan spiritualitas.
Baca juga: PBNU dan Kontroversi Pengelolaan Tambang: Antara Kemandirian dan Kritik Lingkungan
Kedua, kelompok hirarki. Di sisi lain, ada kelompok yang lebih menekankan aspek kelembagaan dan politik organisasi, sebagaimana Mu’awiyyah yang lebih berorientasi pada stabilitas politik dan struktur kekuasaan. Dalam konteks NU, kelompok ini mungkin lebih fokus pada pengelolaan organisasi secara terstruktur dan penataan kekuasaan di dalam maupun di luar NU, baik dalam hal sosial maupun politik.
Ketiga, kelompok non-blok (Khawarij). Tidak menutup kemungkinan pula munculnya kelompok non-blok, yang menolak keduanya dan berusaha untuk menemukan jalan baru, menganggap diri mereka lebih murni dalam menjalankan ajaran Islam. Seperti Khawarij, kelompok ini bisa saja lebih radikal dalam pendekatan mereka, menolak segala bentuk kompromi dan merasa paling benar dalam keyakinan mereka.
Mengapa Sejarah Berulang?
Peristiwa-peristiwa dalam sejarah umat manusia sering kali berulang dalam bentuk yang berbeda. Ini adalah sebuah kenyataan yang sulit dihindari, mengingat sifat dasar manusia yang cenderung memiliki perbedaan pandangan, ambisi, dan interpretasi. Dalam konteks keagamaan dan politik, faktor-faktor seperti perebutan kekuasaan, interpretasi agama, serta cara pandang terhadap nilai-nilai moral dan spiritual sering menjadi pemicu utama.
Namun, penting untuk diingat bahwa sejarah tidak hanya mengajarkan kita tentang konflik, tetapi juga tentang bagaimana umat Islam mampu belajar dari masa lalu untuk menciptakan harmoni di masa depan. NU sebagai organisasi besar yang telah berpengalaman selama satu abad memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan di antara kelompok-kelompok ini, asalkan mampu memelihara ukhuwah dan mengutamakan kepentingan umat di atas segalanya.
Belajar dari Sejarah
NU memiliki sejarah panjang dalam menjaga persatuan dan moderasi di tengah berbagai tantangan. Namun, dalam dinamika sosial-politik yang terus berubah, NU harus terus waspada agar tidak terjebak dalam perpecahan seperti yang terjadi pada masa sahabat.
Sejarah perpecahan antara pendukung Sayyidina Ali, Mu’awiyyah, dan Khawarij mengajarkan kita bahwa perbedaan pandangan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan dikelola dengan bijaksana. Kebijaksanaan, kematangan spiritual, dan komitmen terhadap ukhuwah Islamiyah harus terus menjadi pilar dalam setiap langkah perjuangan NU ke depan.
Sebagaimana pepatah mengatakan, “Sejarah tidak berulang dengan cara yang persis sama, tetapi pola dan esensinya sering kali mirip.” NU sebagai organisasi harus menyadari hal ini dan senantiasa berusaha untuk menjadi pengayom bagi seluruh warganya, tanpa memandang kelompok atau pandangan tertentu, sebagaimana cita-cita besar pendiri NU: menjaga kemaslahatan umat.

Lalu, pertanyaan terbesarnya adalah: kita akan berada di posisi yang mana? Sebagai seorang individu yang mencintai NU, tentunya ada keinginan untuk menjaga kesatuan dan keharmonisan dalam berorganisasi, namun pilihan akan selalu ada. Apakah kita akan menjadi bagian dari kelompok spiritualis yang mendalami mistisisme Islam, ataukah menjadi bagian dari hirarki yang menjaga tatanan organisasi, atau mungkin memilih jalan ketiga, mengkritik kedua belah pihak dan menawarkan pendekatan baru?
Jawaban ini tentunya kembali pada pandangan pribadi setiap orang. Tetapi yang jelas, apapun pilihannya, kita harus tetap mengedepankan kebersamaan dan ukhuwah Islamiyah dalam bingkai Nahdlatul Ulama. Karena NU bukan hanya tentang kelompok-kelompok, tetapi tentang bagaimana kita bisa terus mengabdi kepada umat dengan cara yang berlandaskan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
*) Zainal Arifin, Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kraksaan.